Belajar di Jawa #2: Sekolah Biasa Saja – SALAM & Qaryah Thayyibah

Kedua sekolah… eh pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM)… eh atau komunitas belajar yang akan kami ceritakan di bawah termasuk jenis pendidikan alternatif untuk anak-anak yang tidak biasa. Seperti yang tidak tenang duduk dan beraktivitas lebih dari 4 jam di dalam kelas atau terlalu menggeliat otak kanannnya. Keduanya terbilang anomali. Mereka tidak mengikuti arus utama yang berlomba-lomba mencari akreditasi internasional dan kurikulum Cambridge guna memenuhi standar PISA.

Yang satu mengiblat kepada kompetensi dasar nasional, namun memodifikasi semua cara tradisional ke dalam bentuk pelajaran berbasis proyek. Sedangkan yang satu lagi, tidak mengemban kurikulum apapun. Pantaslah kalau keduanya mengaku sekolah biasa saja, meski menurut kami lebih tepat dibilang bukan sekolah (untuk anak) biasa. Keduanya telah memberikan kami bibit berharga untuk ditanami kembali:

Pendidikan itu soal memberikan ruang kebebasan dan kepercayaan bagi anak untuk berbahagia menjadi dirinya sendiri.

SALAM Jogja: Sekolah Biasa Saja

Sambil meniti selokan di pinggir sawah, perlahan kami mendengar suara teriakan anak-anak bersahut-sahutan. Volume keras yang hingar dan ribut dibiarkan bebas menggelegar. Istri saya mulai bertanya-tanya apakah benar kami akan mengunjungi sekolah. “Dit, ini beneran sekolah?” pertanyaan itu terlontar ketika kami berdua semakin dekat dengan sumber kegaduhan. Saya hanya tersenyum, tidak menjawab.

Setelah tiba di depan ruang kantor dan duduk sambil menunggu, mata kami mulai berputar mengamati setiap penjuru sekolah. Benar ternyata, Sanggar Anak Alam bukanlah sekolah formal. Lebih tepat jika disebut Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM). PKBM yang terletak di tengah sawah Nitiprayan, Jogja ini diprakarsai oleh pasangan suami istri, Pak Toto dan Ibu Wahya.

IMG_20180421_141519
Bersama Pak Toto dan Ibu Wahya, pendiri SALAM Jogja

Kedua murid Romo Mangun ini sudah puluhan tahun mengabdi sebagai pengembang masyarakat di Jawa Tengah hingga ke pelosok timur Indonesia. Mereka memulai SALAM dari hanya tinggal bersama masyarakat petani, kemudian menghadirkan ruang belajar bersama anak-anak di kampung Nitiprayan. Seiring dengan waktu, ruang belajar pun berkembang menjadi PKBM dengan jenjang-jenjang pendidikan setara TK sampai SMA.

Dalam proses diskusi dengan mereka, kami menangkap bahwa kestabilan gerakan yang mereka gagas sekarang bukanlah instan. Dalam momen diskusi kami yang terpisah pesan penting dari kedua tokoh ini ternyata sama:

“Proses sampai akhirnya ada gerakan (masyarakat) itu nggak sebentar. Ooh.. lama. Mulailah dari apa yang mereka butuhkan. Perut,”

Teori yang sering kami dengar, tapi kami abaikan karena kami tidak menguasai ilmu perut, seperti ekonomi, agribisnis, hingga kewirausahaan sosial. Tapi sekarang, kami “dipaksa” untuk mempelajari ilmu perut tersebut karena merangkul anak dengan literasi menjadi sia-sia, tanpa merangkul orang tua dengan ilmu perut tadi.

Sembari menunggu waktu berdiskusi, kami mengamati lebih dekat sumber kegaduhan tadi. Ternyata, itu adalah anak-anak kelas 5 yang sedang mengantri untuk mendapat giliran memukul sansak di ruangan TK. Sambil mengantri mereka, guyon, ngobrol, jahil dengan teman, berteriak, dan ada pula yang berlarian keluar dari baris.

Nah, pernah dengar tipe kepemimpinan? Putri adalah implementer sejati yang detil, suka bekerja dengan aturan, berorientasi target, dan tidak suka perubahan. Pemandangan di SALAM amatlah kontras dengan semua keteraturan dan sistem dengar satu kali yang kami terapkan di Bokondini. Maka melihat situasi kelas seperti itu Putri merasa… “Oh tidaaak, bagaimana cara mengendalikan para kurcaci ini?? Sungguh sa kepala picaa! Ku tak kan sanggup. Ini sekolah apa Ancol tanggal merah, rame beneer?!”

Sebaliknya, respon saya sebagai seorang disainer-motivator yang visioner tapi berorientasi manusia, fleksibel, tak terstruktur, dan suka memotivasi. “Aku merasa hidup! Anak-anak ini memang ribut, Put, tapi semuanya masih di dalam kontrol. Lihat, mereka semangat mengantri untuk dapat giliran. Kelihatan mereka menikmati sekali berada di sini. Hidup!”

“Heh, apa? Jadi kamu mau nanti kita mengajar anak-anak sistemnya bebas begini? tanya saya mendengar respon Adit. “Ya, kenapa nggak selama anak-anak masih bisa ikutin pelajaran dan mereka bahagia,” jawab saya merespon Putri.

“Oke, bye! Kamu aja yang ngajar, aku jadi admin aja urus laporan.”

Oow.. ternyata saudara-saudara, ada juga perbedaan pedagogi yang hakiki di antara kami.

Berbeda karena memang Adit cetakan dari sekolah yang memerdekakan (setidaknya ketika SMA), sementara saya dari sekolah negeri konvensional (meski katanya yang terbaik se-Depok, wkwkwk). Ketika SMA, Adit memilih merantau ke SMA de Britto Jogja karena merasa sekolah katolik di Bandung terlalu memenjarakan. Adit tidak pernah lupa kejadian ia ditampar keras oleh gurunya yang marah saat ia memandang mata pak guru dan ditampar kedua kali saat ia bertanya bingung mengapa ia ditampar yang pertama. Yeah, that’s my man!

Soal manajemen kelas, kami memang punya preferensi masing-masing. Tapi ketika masuk dan mengamati kelas, kami sama-sama menemukan hal baru yang menginspirasi dari SALAM, yakni semangat untuk mengenalkan anak dengan realitas dan menyiapkan mereka untuk bekerja di bidang yang mereka cintai. Sedari kecil, anak tidak disibukkan dengan buku-buku pelajaran, melainkan dengan tema-tema pembelajaran yang dikembangkan menjadi kelas berbasis proyek (project-based classroom).

Dibutuhkan kerja sama dan keahlian kakak fasilitator pendamping (umumnya 3 di tiap jenjang) untuk menggali hubungan antara ketertarikan anak, sub tema kelas, dan kompetensi dasar nasional. Rasa hormat kami terhadap fasilitator bahkan berlipat-lipat karena mereka semua adalah relawan dan biasanya memiliki pekerjaan lain sebagai mata pencarian utama. Namun totalitas dan sikap ajri asih para relawan SALAM terhadap anak-anak membuat kami merasa kerdil.

Jika kamu belum bisa membayangkan kelas berbasis proyek seperti apa, kira-kira demikian… Di kelas 1 SD pada waktu kami datang, kakak fasilitator dan anak-anak sedang membahas materi bidang datar bulat dan pada bulan itu sub tema yang sedang digunakan kelas 1 adalah mainan. Maka semua anak akan diminta membawa mainan yang memiliki unsur bulat. Mereka akan menceritakan mainan yang mereka bawa dan setiap teman juga kakak fasilitator bisa bertanya apa saja tentang mainan tersebut. Dari dua unsur: bulat dan mainan, anak-anak akan digiring untuk berdiskusi sejauh plafon cerna mereka sehubungan dengan sains, matematika, bahasa, dsb. Seperti membahas bahan mainan, kegunaan, cara main, warna, dan sifat-sifat benda bulat.

Metode tematik dengan proyek yang lebih mendalam diterapkan di jenjang SMP. Siswa mulai membahas aquaphonic, resep makanan sehat, dll. Masuk ke jenjang SMA, proyeknya lebih serius dan jangka panjang. Sejak kelas 10, siswa akan memulai riset sebuah topik yang nantinya menjadi proyek akhir di kelas 12. Harapan akhir dari riset adalah rencana bisnis individu yang memiliki nilai guna, ekonomis, dekat dengan realitas, serta memiliki dampak sosial di tahun terakhir mereka SMA. Kajian ilmiah akan produk yang mereka teliti ini nantinya akan mereka kembangkan setelah lulus SMA dan menjadi seorang wirausaha.

Kami sempat berbincang dengan salah satu siswi kelas 11 yang memiliki ketertarikan pada tata kriya tenun tradisional Indonesia. Berdasarkan minat tersebut, ia mulai mengkaji sejarah tata kriya tradisional, meneliti perbandingan kriya tenun antar daerah, serta mempelajari cara membuatnya. Di akhir kelas 12, ia menargetkan diri untuk mendisain dan membuat produk guna dijual. Tentu semua proses ini disertai kajian ekonomi, dampak sosial budaya, sampai rencana pemasarannya. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan beberapa siswa yang ingin lanjut ke pendidikan tinggi, SALAM tetap memfasilitasi siswa yang hendak mengikuti Kejar Paket C.

DSCF1062
Mendengar saya lupa, Melihat saya ingat, Melakukan saya paham, Menemukan sendiri saya kuasai – Sanggar Anak Alam Jogja

Berbahagia di Pasar Ekspresi

Di satu kesempatan kami menghadiri pasar ekspresi SALAM yang disiapkan oleh anak-anak, dieksekusi oleh anak-anak, dinikmati dan dipimpin oleh anak-anak juga. Semua siswa menampilkan hasil proyek mereka, berupa ekspresi drama, tari, musik, dan bersama orang tua mereka menjual produk kerajinan tangan, masakan, minuman, dan jualan baju bekas.

This slideshow requires JavaScript.

Hal yang membuat Adit sumringah di sini, ia menemukan praktik level lanjut di tingkat sekolah sebuah simulasi pasar yang mengaplikasikan sistem moneter nasional. Konsep yang lebih sederhana sudah lama terpendam di kepalanya dan tertunda untuk dieksekusi di Ob Anggen. SALAM sudah menerapkan sistem bank kecil dan simpanan koperasi yang semuanya dikelola anak.

IMG_20180312_090512#1
Adit mengantri di bank untuk tukar uang rupiah ke mata uang SALAM

Jadi ya, Pasar Ekspresi benar-benar dibuat oleh, dari, dan untuk semua anak SALAM. Orang tua terlihat bangga dengan apa yang mereka kerjakan bersama anak. Tidak ada tuntutan anak harus tampil sempurna, hapal lirik dan gerak, atau sinkron dengan tempo. Oh, berbahagialah anak-anak yang bersekolah di sekolah biasa saja!

Di hari terakhir kunjungan, kami teringat kembali akan diskusi hari pertama. Saya (Putri) harus mengakui bahwa kemenangan yang terlihat di Pasar Ekspresi hari itu adalah hasil dari lebarnya ruang toleransi SALAM kepada murid-murid mereka. Ruang bebas untuk mengekspreksikan jiwa mereka yang di usianya senang bermain, guyon, jahil, bertanya, dan cari-cari perhatian.

Memang kami sepakat bahwa kebebasan perlu dibatasi agar anak juga belajar untuk menghargai hak orang lain. Namun yang hakiki bukanlah soal ketat dengan aturan atau bebas tanpa aturan, melainkan konsistensi penerapannya. Kami percaya ketidakkonsistenan akan hal yang sudah dipilih justru membunuh kepercayaan dan kedisiplinan anak. Dan konsistensi memberikan ruang kebebasan anak berekspresi kami temukan di SALAM.

Sekolah Anak Buangan Qaryah Thayyibah

Desa yang indah dan berdaya, demikian makna dari Qarryah Thayyibah sebuah komunitas belajar di Salatiga. Sang pendiri Pak Ahmad Bahruddin lebih senang menyebut QT sebagai sanggar. Beruntung kami sempat bertemu Pak Bahruddin sehari sebelum ia ke Jakarta mengadiri pertemuan sebagai staf ahli PNF-PAUD Kemdiknas. Kami sangat terkesan dengan kesederhanaan dan semangatnya yang terus menyala untuk memperjuangkan pendidikan non-formal yang memerdekakan masyarakat terpinggirkan.

Berangkat dari keresahannya akan para petani di kawasan pinggir Salatiga, setelah lulus kuliah dia kembali menetap di tempat ia praktik kerja lapangan dan tidak pernah meninggalkan kampung tersebut hingga kini. Darinya kami belajar untuk memposisikan diri sebagai teman ketika masuk ke tengah masyarakat. Karena hanya ketika menjadi teman lah, hati mulai terbuka dan kepercayaan tumbuh untuk merancang tujuan bersama.

Saya bukan penggerak, bukan apa-apa. Hanya teman saja. Karena teman, mereka jadi percaya saya dan kami bisa punya tujuan bersama – Ahmad Bahruddin

Awalnya, Pak Bahrudin menjadi teman kaum ibu untuk mengembangkan produk usaha tani. Hubungan berkembang hingga terbentuklah serikat tani yang kini sudah berjalan mandiri dan berkesinambungan tanpa peran banyak darinya. QT sendiri berasal dari usulan masyarakat yang merasa pendidikan formal yang ada saat itu (di awal tahun 2000) tidak membantu masyarakat. Maka sempatlah QT berjalan dalam bentuk SMP formal, namun tetap mengadakan kegiatan-kegiatan berbasis minat anak yang digagas dan dieksekusi oleh anak. Setelah berjalan beberapa tahun dan sekolah mengalami kesulitan mengakomodir keduanya dalam porsi yang pas. Pada akhirnya QT bergeser total menjadi PKBM (kelas 7-12) yang menekankan pada minat anak dengan prinsip kemandirian belajar dan berbasis proyek.

Perubahan dari formal ke non-formal ini jugalah yang membuat jumlah murid di QT turun drastis dari 120-an menjadi 20-an tahun ini. Tidak ada sistem guru di QT. Hanya ada murid dan beberapa relawan pendamping yang belajar bersama mereka. Rata-rata relawan pendamping QT adalah alumni QT juga yang tergerak untuk mendampingi adik-adiknya.

Di QT juga ada kelompok minat dan keterampilan hidup tambahan yang kegiatan dan targetnya disepakati bersama. Anak-anak bisa mengundang kakak dari sekitar maupun luar kampung untuk menjadi fasilitator. Sebagai contoh, sore itu seharusnya ada kelas tambahan bahasa Inggris dari kakak di universitas di Salatiga. Karena hujan deras dan kakak tidak datang, maka The Primadityas mengambil kesempatan bermain bahasa Inggris dengan anak-anak yang setia menanti.

IMG_20180423_150950
Belajar kalimat past tense dengan kartu gambar dan role play

QT memiliki sebuah ruang komputer yang dibebaskan pemakaiannya dari pagi sampai malam. Anak-anak bisa bermain game, mencari informasi, juga meriset bahan proyek mereka. Lebih ekstrim dari SALAM, tidak ada materi pelajaran di QT karena anak difokuskan untuk meriset proyek mandiri yang akan dipresentasikan di akhir semester. Selain itu, mereka menyiapkan materi kelompok ekstra kurikuler mereka, seperti bikin video, musik (ada studio musik juga di sini), proyek kebun, dll. Bagi yang mantap untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, mereka bisa mengambil kursus persiapan tambahan di bimbel, selain ada juga persiapan ujian bersama kakak pendamping dari QT.

Menarik bagi kami, baik Pak Bahrudin maupun murid-murid di QT secara gamblang mengakui kalau QT dilihat masyarakat umum sebagai tempat buangan. Buangan anak-anak yang bermasalah di sekolah formal, yang tidak suka dengan sekolah, atau yang tidak diterima di sekolah manapun. Jujur saja kami bingung mengidentifikasi anak mana yang merupakan anak buangan. Karena kami mengagumi bagaimana anak-anak QT percaya diri, berkarakter pemimpin (untuk dirinya sendiri apalagi karena semua kegiatan belajar sifatnya sukarela), juga penuh dengan kepedulian dan keingintahuan.

Aisyah, siswa buangan yang di mata kami justru bersinar, menuturkan alasan dia masuk QT karena merasa tertekan akibat dirundung di sekolah yang lama. Ia tidak mau lagi bersekolah formal. Gadis berkerudung ini jago bahasa Inggris dan Korean dance. Dia mengaku sudah 2 kali mengikuti audisi pencari bakat untuk menari di Korea dan hendak ikut untuk yang ketiga kalinya.

Bukti lain kehebatan anak-anak yang dilabel dan melabel dirinya buangan ini adalah kami ditunjukkan tumpukan buku-buku yang merupakan hasil karya alumni QT. Ada siswa yang menerbitkan jurnal harian, novel, buku cerita, hingga buku biografi boyband SMASH. Malu kami terhadap anak-anak QT yang kala menulis buku-buku tersebut usianya masih di bawah 20. Dan inilah pelajaran penting untuk kami: tidak ada anak terbuang sia-sia ketika mereka diberikan dukungan dan ruang untuk mengelola ketertarikan dan potensinya. Mereka butuh ruang dan dukungan. Itu saja.

 

Leave a comment